Dunia Rantau, Merantau ke Deli




"Seorang anak muda walaupun kaya raya melimpah-limpah uangnya, penuh pundi-pundinya, padat kantongnya dan berpintu-pintu kedainya di rantau orang, tetapi sekali dalam hidupnya haruslah ia membayar utang kepada negeri dan kampung halamannya."

Buku Merantau ke Deli yang ditulis oleh Buya Hamka menggambarkan kehidupan nyata yang dialami oleh banyak pekerja (kuli) di zaman dahulu, zaman penjajahan. Banyak pekerja yang datang dari daerah yang berbeda mengadu nasip, mencari sesuap nasi untuk tetap terus bertahan dalam hidup dan banyak latar belakang lain dengan iming-imiming kehidupan sejahtera.  Kehidupan sosial yang ada di tanah Deli ini tergambar begitu jelas.

Kehidupan para perantau yang ada di kota Deli tidak hanya sebatas dalam lingkup dunia kerja akan tetapi juga meliputi kehidupan asmara antar pekerja yang ada. Di sini kita dapat melihat peran seorang mandor yang menjadi penguasa atau pemelik penuh para pekerjanya. Leman, seorang teuke asal kota Padang yang jatuh hati kepada pekerja kuli kontrak dari tanah Jawa yang tinggal sebatang kara. Dan dia juga ingin perempuan ini juga ingin berkehidupan rumah tangga yang sesuai dengan norma susila dan norma agama.

“Pernikahan adalah suatu tujuan yang suci atas bersatunya laki-laki dan perempuan. Tiga kali kita menyeberangi hidup, apabila ketiga kalinya telah disebrangi dengan selamat, bahagialah kita. Pertama hari kelahiran, hari suci. Kedua hari pernikahan, hari bakti. Ketiga hari kematian, hari yang sejati.

Di sini Poniem, istri Leman benar-benar setia kepada suaminya. Di sini kehidupan sebuah keluarga digambarkan secara gamblang. Bagaimana seorang suami asal Padang yang gigih bekerja memenuhi keperluan keluarga dan seorang istri asal Jawa yang melayani suami sepenuhnya dan menjalankan tugas seorang istri semaksimal mungkin.

Buya Hamka menjelaskan bagaimana adat istiadat yang ada di dalam suku Jawa dan Minangkabau. Pernikahan dan membangun keluarga yang tidak satu suku di tanah rantau. Di akhir buku ini Buya Hamka mengemas kondisi sebuah keluaraga yang tidak seperti di pandang banyak orang dari luar penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan akan tetapi banyak ujian dan tantangan yang selalu menjadi batu penghambat perjalanan sebuah keluarga.

Salah satu hikmah yang dapat kita petik adalah setiap manusia tidak selamanya akan berada dalam kondisi di atas akan tetapi ada saatnya berada di bawah. Maka, ketika berada di atas janganlah angkuh, congkak dan sombong. Semakin tinggi seekor burung terbang ke atas langit maka angin yang menerpa akan semakin dahsyat. Begitu pula saat berada di bawah, tetaplah sabar dengan segala kondisi yang ada, optimis dan terus berikhtiar untuk menjadi hambaNya yang lebih baik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

WELCOME TO JORDAN (Ürdün'e Hoşgeldiniz)

Sinopsis Di Tepi Sungai Dajlah