Sebiru Hari ini

            Suatu hari, di kelas TÖMER?*

“Sekarang Hoca akan bertanya kepada kalian,” Ahmet Hoca memancing kami untuk penasaran dengan apa yang akan ditanyanya

“Tamam Hoca, tamam.” Satu kelas siap menerima pertanyaan dari Ahmet Hoca

“Kalau ada orang satu kampung dengan kalian datang, apa yang kalian lakukan?” Dengan senyum 
khas Ahmet Hoca, dia melempar pertanyaan, mengedipkan mata sebelah kiri, kumis tipisnya naik sedikit.

Ah, musim ini adalah awal musim semi. Beberapa hari lalu kami semua baru menyelesaikan ujian kenaikan tingkat bahasa B1. Setelah ujian ini kami semua memang dipush untuk bisa aktif berbicara dengan menggunakan semua gramer dan kosa kata yang telah kami pelajari selama 5 bulan lebih. Setiap Hoca selalu memanaskan suasana kelas di mukaddimah, awal pertemuan kelas dengan pertanyaan – pertanyaan yang menggelitik lidah untuk berbicara.

Pernah berharap membuat sebuah puisi dengan bahasa Turki. Duduk di taman kota, menemani mawar yang mulai merekah, tulip yang mulai membuka kuncupnya, mengiringi mentari mengitari bumi hingga merah saga senja mengantarkanku pulang. Ditambah dengan seduhan secangkir teh khas Turki. Maalesef, untuk saat ini jangankan membuat seutas puisi, membentuk kalimat dengan panjang lebih dari satu baris buku tulis saja sudah puyeng kepala.

“Hocam, kalau saya bertemu dengan seseorang yang berasal dari kampung saya, saya akan merasa bahagia sekali tentunya. Disini kan bukan kampung saya.” Anak bermata sipit yang sangat aktif itu cengingir

“Hocam, kalau aku, aku kan Cuma sendiri di Isparta ngak ada kawan lain dari negara yang sama. Aku akan langsung ceritakan semua hal tentang keterasingan aku di sini dan sulitnya hidup di negri orang. Semuanya baru, seperti bayi yang baru lahir,” Pelajar asal afrika ini mengutarakan dengan cerdik

“Kalau saya Hocam, saya akan ajak mereka masak makanan khas kampung kami. Sudah berapa bulan lamanya lidah ini tidak mencicipi makanan kampung. Tapi mau masak dimana ya? Di asrama ngak bisa masak. Hahaha…” Pemuda asal kosova ini menjawab dengan kocak, anak yang paling lasak di kelas kami.

“Ahmet Hoca, kalau ada orang kampung saya datang, saya akan ajak dia bernostalgia, menatap jauh kampung, memadang hijau hamparan sawah, gemericik suara air sungai, burung pipit bersiul dan romantisnya mentari mengintip kami dibalik gunung kerinci.” Terbata – bata aku menyusun kalimat.

Ahmet Hoca mengangguk – ngangguk mendengar jawaban dari kami semua. Sambil kembali ke meja, mengambil spidol, “Bravo!” kata beliau sambil putar badan.

“Masih ada lagi yang ingin angkat bicara? Hey, kamu yang disudut sana. Satu dua kalimat coba!” Ahmet Hoca menyentak kaget.

*****
Semester 3 ini sedikit berbeda dengan semester yang lain. Kalau dari tingkat kesulitan aku belum ingin buka tema itu ditulisan ini. Bisa down nanti, ini masih menjaga stabilitas semangat belajar dalam pertengahan ujian akhir semester. Ud’u lana…

Awal semester ini memang aku mulai dengan sedikit kesalahan, belajar bolos ternyata tidak bagus, bila terus – terusan. Tapi terkadang perlu :D Untuk mengejar ketertinggalan materi pelajaran harus bisa mengalokasikan waktu. Pandai – pandai dalam melihat penting dan tidaknya runutan agenda harian dan pekanan. Priority level

“Wan, ada Dr. Yusuf yang tahun lalu datang ke Isparta sekarang di Guest House kampus. Coba dilihat kesana bisa?” pesan masuk ke telefon genggam dari Bg Hanif.

Ini awal mula yang membuat semester ini sedikit berbeda. Ada banyak orang yang datang dari kampung Nusantara ke kampung Isparta. Mereka tinggal selama lebih kurang satu bulan di Isparta. Ini adalah kesempatan menjawab pertanyaan Ahmet Hoca 2 tahun lalu. “Kalau ada orang satu kampung dengan kalian datang, apa yang kalian lakukan?” masih terbanyang senyum khas Ahmet Hoca. Sayang, dia sudah tidak mengajar di TÖMER lagi. Semester sebelumnya juga banyak, dari Aceh terutama. Tapi mereka hanya tinggal beberapa hari disini :(

Sampai di Guest House, aku dan Dr. Yusuf bernostalgia. Bukan tentang hamparan sawah yang hijau. Tahun lalu beliau juga ke sini, ke Isparta dalam rangka mengikuti konferensi internasional ICAPA ke-8, tentang pemikiran dan islam. Sambil duduk lesehan di dalam kamarnya, memandang kebelakang. Salah paham antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, makanan khas Turki di Hotel Barida, perjalanan menelusuri kota sufi Konya, tour ke Antalya, dan banyak lagi cerita kami di waktu petang menjelang Maghrib.

Bu Nur, istri beliau ikut menyaksikan gelak tawa dan semua yang kami bincangkan. Sesekali beliau tertawa kecil melihat kami tertawa. Masih berusaha beradaptasi dengan atmosfer kampung Isparta. Dari dalam kamar Bu Nur melongok ke keluar dari jendela kamar berukuran setengah kali satu meter. Melihat bukit – bukit yang mejulang, terbentuk dari tanah keras yang membatu karas, gersang dari pokok pohon yang rindang.

Dr. Yusuf sudah tidak canggung berada di sini, satu pekan di tahun lalu memuat Dr. Yusuf ‘jatuh cinta’ dengan kampung Isparta dan orang yang ada di dalamnya. Eeaakk… hingga senja ini kami dipertemukan kembali. “Dr. Yusuf ini akan tinggal sebulan disini, insyaallah kita coba mengais ilmu dari beliau,” kataku dalam hati.

Bg Ahmad, sangat suka diskusi lintas ilmu. Dan memang kita semua sudah punya budaya, budaya menimba ilmu dari siapapun dan dimanapun. Sukanya Bg Ahmad berdiskusi dan berbagi keilmuannya, Bg Ahmad sendiri acap kali memberikan kita wejangan, nasihat dan support untuk selalu haus dengan ilmu. Pendidikan Doktoral beliau di sini insyaallah akan menuju gerbang terakhir, penulisan tesis. 

“Tinggal kita atur jadwalnya.” Begini kalimat yang sering keluar dari mulut Bg Ahmad.

Ya, menimba ilmu tak kenal waktu dan tempat kawan!

            Sayangnya Dr. Yusuf dan Bu Nur sedikit berjuang keras menahan kerasnya kehidupan di Guest 
House selama 720 jam. Hehehe… tapi kalau berdua insyaallah semua akan bisa dilalui walau badai yang menghadang. Dengan kesabaran dan pengalaman survive kehidupan mereka bisa bertahan. Kan Dr. Yusuf? Semua pasti ada hikmah yang tersirat didalamnya.

Puncaknya, kita buat piknik bersama di puncak bukit Çünür. Yummyy…

Angin musim gugur semakin kencang, suhu udara semakin turun, lingkaran diskusi kami semakin panas, kami semua berselubung jaket dengan erat, secangkir teh yang ada di meja lima menit yang lalu hanya tinggal cangkir kosong. Tegukan terakhir, “Syyrrrpp…”

“Ust Yusuf bagaimana dengan tugas kita yang mengajak orang untuk masuk islam, sementara masih banyak saudara kita yang islam tapi belum berkehidupan islami? Mana yang harus didahulukan? Kenapa?” Bg Hanif mengangkat tangan setengah, bertanya serius di tengah diskusi yang semakin panas!








*****

“Insyaallah ada yang akan datang lagi minggu depan, dari USIM juga, nanti kita buat makan – makan dan kongsi lagi lah,” Bg Nukman memulai riwayat obrolan grup WA.

Tidak lama, karena waktu sekarang kata orang berlalu semakin cepat waktu kedatangan dosen itu pun tiba. Sebelum sampai di Isparta, Bg Nukman dan tamu yang akan datang kesini sudah menjalin komukasi yang baik biasanya. Sampai detik dan jam berapa kedatangan di Airport sudah ada maklumatnya di tangan Bg Nukman. Memang banyak orang di kampung Isparta ini yang tidak bisa bahasa inggris, tapi pekerja di Airport terjamin tentunya. Karena bahasa adalah alat komunikasi.

Kalau Dr. Yusuf kemarin mengajar di Fakultas İlahiyat jurusan Tasawuf, kali ini Dr. Salhah di Fakultas Sains dan Sastra, jurusan Kimia. Juga, Dr. Salhah akan datang seorang diri nanti keluarganya akan menyusul di sepuluh hari terakhir sebelum kembali ke Negri Jiran. Seorang diri tentu akan lebih adventure di sini, karena ini adalah kali pertama Dr. Salhah melancong ke Turki.

“Saye insyallah bisa jemput ke Airport,” Sahut Kak Farah Sabrina.

Kak Farah, mahasiswi tingkat akhir dari Nusantara di SDU. Ksk Farah lah yang memulai meniti jalan perkuliahan di SDU diantara kami semua. Dengarnya, nama Farah Sabrina cukup baik di kenal oleh para Hoca di kampus. “Kamu kenal Farah?” tanya guru sejarah Turki padaku.

Bg Nukman sudah survei hotel yang cocok dengan permintaan Dr. Salhah dan cost hotel per harinya benar – benar murah, mencengangkan! Semoga Dr. Salhah seronok tinggal di sini dengan segala kecukupan fasilitas dan servis hotel. :D

Kak Farah turun bersama Dr. Salhah di kampus, dari bandara tidak langsung ke hotel, konfırmasi kedatangan ke kantor ururan internasional SDU, program pertukaran pelajar dan dosen, program Mevlana. Ini salah satu kesempatan baik yang bisa diambil. Dengan membawa tamu ke kantor urusan internasional, kami lebih bisa kenal dekat dengan koordinator program Mevlana, bisa kenal dengan ketua jurusan dan berbagai dosen di lintas jurusan.

Tidak ada yang kami harapkan dari perkenalan dengan mereka. Hanya sekedar minum secangkir Çay* di ruangannya, menyeduh kopi Turki, bercerita tentang ke-Nusantara-an kepada mereka, bercerita tentang negri yang hanya dilalui oleh 2 musim, tanpa salju dan malam yang pendek. Ini juga bisa menjadi salah satu tips untuk prakik bahasa Turki lebih. Karena kalau tidak, kapan lagi? Kami semua tidak akan berlama – lama disini. Setelah Study selesai, semua akan kembali ke kampung masing – masing, berkhidmat kepada orang kampung.

Juga, terkadang bila kami terbentur dengan masalah, para Hoca yang telah kami kenal mungkin bisa membantu menemukan kunci permasalahan, atau paling tidak mereka akan menasihati dan mendengar keluh kesah yang kita rasakan selama berada di kampung mereka. Cobalah!

Kapan kita akan buat diskusi bersama Dr. Salhah? Dimana?

Angin peralihan musim gugur dan musim semi, angin yang menusuk tulang belulang. Mengeringkan bibir dan membuat daun telinga merah merona. Tidak pas jika kita buat seperti dua pekan lalu, di puncak bukit Çünür. Kami mencari tempat yang bisa berkumpul dengan jumlah 25-30 orang, indoor, nyaman, di Çarşı*, dan tentunya boleh untuk makan – makan di sana.

Setelah menikmati makanan dengan berbagai menu, cita rasa dan dari cheff yang berbeda – beda pula. Ada ayam goreng, telur dadar gulung, gulai kari ayam, sayur, tomyam, ikan bakar, mie dan lalapan. Karena panggilan perut sudah semakin keras, makanan perut didahulukan dari makanan otak.

“… begitulah luar biasanya manfaat sholat tahajjud di sepertiga malam.” Jelas Dr. Salhah

Semua kami tersihir, diam fokus mendengarkan untaian penjelasan, duduk lesehan di atas karpet, melingkar, masih termangu mencerna apa yang disampaikan Dr. Salhah. Semakin malam diskusi semakin hangat. Hembusan angin diluar semakin tertepis disebabkan Bg Ahmad dan Dr. Salhah semakin sengit berdiskusi. Dari pukul 02.00 siang, pukul 20.45 kami keluar dari Umran Culture Center.

Kami juga membawa Dr. Salhah mengelilingi Yeşil Ada* di tengah Danau Eğirdir. Dahsyat! Angin danau ini hampir membuat kami semua terbang melayang. Tak ada seorang pun diantara kami yang berbadan ‘lebih’ semuanya pas – pasan. Dr. Salhah berjalan didampingi Nurihan. Mahasiswi Nurse tahun pertama, setelah setahun menyelasaikan kursus bahasa Turki. Yang lain, aku dan Bg Nukman bersama tiga orang anak muda tampan yang baru datang dua bulan lalu, sedang belajar mengeluarkan huruf – huruf Turki dari tempatnya. Makhaarijul Huruf

“Suami Aunty, dahulu belajar di Suriah. Sudah pernah ke turki 20 tahun yang lalu. Hari rabu mereka akan datang bersama 3 anak Aunty” Dr. Salhah menjawab pertanyaan salah seorang dari kami.

Angin laut masih menyapu bersih dedaunan kering di pinggir jalan, burung – burung berterbangan di atas ombak kecil ‘laut’ ini. Kami duduk diatas rumput hijau, mengunyah kuaci yang tak habis – habis, menggigit chips buah tangan dari Malaysia.

“Ustadzah, berikanlah kita sedikit nasihat untuk belajar di luar seperti sekarang ini.” Seseorang menyeletup.









*****

19 November 2016
“Alaikumsalam Ridwan, nama saya Norlela. Pensyarah dari fakulti Pergigian USIM…”

Kiranya seperti itulah replay pesan ke WhatsApp jauh sebelum kedatangan dr. Nurlela. Beliau akan bergelut dengan SDU dan Isparta selama dua minggu. Waktu yang singkat kalau dilihat dari jumlah harinya. dr. Norlela dan  keluarga akan melewati 1.209.600 detiknya di Isparta. Waktu yang panjang bukan? Dua minggu di Isparta akan terasa seperti dua tahun bahkan lebih. ;)

“Hai… comelnya anak ni…” Seorang pekerja di kantor urusan internasional menggendong ria Nuha. Anak paling kecil dr. Norlela. dr. Norlela dan dr. Faizah sedang mengurus konfirmasi kedatangan di lantai atas. Anak – anak beliau di bawah bersama Cik Gu Azmi. Cik Azmi suami dr. Norlela yang sudah dikaruniai 5 orang buah hati. Naim, Najwa, Nawai, Nafis dan Nuha. Semuanya berhuruf awal N, termasuk dr. Norlela dan Cik Gu Nur Azmi. Keren!

Minggu lalu Bg Nukman sudah memesan apartemen 2+1 dengan harga miring dan fasilitas full. Setelah selesai semua urusan di kantor Mevlana, dengan baik hati pegawai Mevlana mengantarkan keluarga dr. Norlela beserta dr. Faizah ke apartemen. Karena memang kalau naik transportasi umum akan sedikit menyulitkan juga.

“Teşekkürler Fatih Hoca,” Kami semua masuk ke apartemen dan pegawai Mevlana pun pergi.
         
            dr. Norlela tidak terlalu banyak menemukan masalah di fakultas karena ada dr. Faizah yang mejadi konco, kawan kemana pun pergi. Mungkin Cik Azmi yang lebih banyak menghadapi tantangan di rumah. Tragedi awal adalah, mesin cuci tanpa pengering. Ini unik sekali. Setelah itu banyak lagi hal yang menarik didapatkan oleh keluarga yang masih muda ini. yang paling kami sukai adalah mereka menyukai Adventure. Hahaha...

Obrolan Grup WA
            
“Besok kita ajak ke Davraz Sky Center jom! Karena rugi lah kalau sudah ke Isparta tak ke sana. Hari Sabtu,”

            “Boleh, kita cari bus lah.”

            “Keluarga Nusantara go to Davraz”

            “Tahun lalu kita ngak sempat ke sana juga Bg,”

Kita semua berjumlah 25 orang, keluarga Dr. Salhah, keluarga dr. Norlela, dr. Faizah, dan pelajar Nusantara Isparta. Kami bertolak dari Çarşı pukul 11.00 dan pulang kembali ke Çarşı pukul 16.30, sudah masuk waktu sholat Ashar. Ternyata, merasakan suhu di bawah 0, perang salju, duduk di atas ketinggian 20 meter dengan telerefik, angin senja sebelum pulang yang menusuk sum – sum tulang belum cukup membuat mereka semua lelah.

“Besok kita ke Pamukkale!” Cik Gu Azmi dan Ust Ramli (Suami Dr. Salhah) semangat menyetujui musyawarah di tepi jalan.

Sebelum pulang, Dr. Salhah menjamu kita makan di apartemennya, dr. Norlela pun memberikan pencerahan sedikit mengenai gigi.

“Itu karena sudah ada karang di gusi, harus dibersihkan,” Nasihat dr. Norlela

Nasi arap buatan Ust Ramli membuat lidah terasa asing, ini  bukan Isparta.

















*****
Terakhir, tinggallah dr. Faizah seorang diri. Selama tiga hari dr. Faizah ikut mereka yang sudah berada di Istanbul. Menjelajahi Istanbul dengan Turist Guide Ust Ramli yang suka sejarah, sambil mengenang nostalgia 20 tahun yang lalu.

Kita tidak bisa berbuat banyak bersama dr. Faizah karena memang waktu ujian akhir semester sudah masuk. Kami saling memahami. dr. Faizah tidak kalah berani, atau mungkin ketularan keberaniannya keluarga dr. Norlela, dr. Faizah keliling kampung Isparta beberapa kali untuk mencari souvenir dan buah tangan. Juga pesanan dari mereka yang sudah sampi di rumah masing – masing.:D






*****
            
Maafkan kami jika …

Harus menunggu bus satu jam lamanya, bahkan lebih
Ketinggalan bus sebab tidak ada pergantian jam
Memberikan harapan palsu kedatangan salju
Berjalan jauh untuk sampai ke’sana’
Salah dalam bertingkah
Silap dalam mengucap
Karakter yang terlalu dingin
Atsmosfer Isparta yang tidak hangat
Beberapa tahun kedepan ada yang menjadi besan
:D :D:D

*TÖMER (Kelas kursus bahasa Turki)
*Çarşı (Pusat Kota, banda)
*Çay (Teh)


"Sebiru hari ini, birunya bagai langit terang benderang
Sebiru hati kita, bersama di sini
Seindah hari ini, indahnya bak permadani taman surga
Seindah hati kita, walau kita kan terpisah"

Naysid Edcoustic - Sebiru hari ini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WELCOME TO JORDAN (Ürdün'e Hoşgeldiniz)

Sinopsis Di Tepi Sungai Dajlah