Buku adalah warisan
Teringat pesan teman ketika masuk
ke sebuah toko buku. Toko yang
menjual kitab-kitab dengan bahasa arab. Saat buku yang di cari sudah di tangan,
lembaran awal hingga akhir sudah di lihat sekilas, semuanya seperti apa yang di
inginkan dan mulai melangkah ke kasir. Penjaga kasir menyebutkan harganya –harga
tidak tercantum di buku- “ ... mahal ya...” aku langsung berfikir panjang.
“ Alah... kalau buku lu kan umurnya lebih panjang dari umur lu, ya ngak
papa mahal dikit. Namanya juga ilmu. Nanti bukunya bisa dibaca sama anak cucu
lu, kalau perlu jadi warisan. Beli ajalah, nanti aku pinjam dari lu,” :D
Satu kisah yang di ceritakan guru saya ketika di bangku aliyah, memotivasi, membakar semngat
kami semua untuk membaca lebih dan lebih. Saat presiden pertama Indonesia
pulang dari pendidikannya di belanda, Pak Soekarno membawa pulang tujuh peti
barang. Dari tujuh yang di bawa, satu diantranya nya adalah pakaian dan sisanya,
enam peti barang itu berisi buku-buku. Pantas IR Soekarno itu menempati posisi
sebagai pelopor kemerdekaan Indonesia.
Sejak itu, ada keinginginan menyisihkan sedikit dari uang saku bulanan yang
di berikan Ibu untuk membeli buku. Apapun itu, yang penting beli buku dan
dibaca! Setiap liburan semester mengunjungi toko buku menjadi agenda yang tak
terlupakan. Bahkan ada cetusan teman,
“Kalau ngak ada duit beli buku, dari pagi sampai sore nongkrong di Gramed
aja. Baca sepuasnya setelah itu tarok lagi bukunya.”
“Cuci mata di toko buku lah, biar naik sedikit wawasannya.”
“Kalau pun tak beli, tahu kalau ada buku ini dan itu di Gramed cukup.”
Memang begitu, salah satu syarat menunutut ilmu adalah berkorban segi
finansial. Harus beli baju sekolah, harus beli sepatu, harus beli buku tulis,
harus beli buku panduan, harus bayar ongkos angkot, harus bayar adrimistrasi,
harus bla bla... kalau tidak ada pengorbanan dari dompet, harus di crosscek
kembali, apakah betul kamu seorang pelajar?
#30DWC Hari ke-2
#30DWC Hari ke-2
Komentar
Posting Komentar