Malam Terakhir ( Kejar Beasiswa Turki! 4 )



Kapal-kapal bantuan itu berhasil lolos, usaha keras Baltaoghlu memporak-porandakan 4 buah kapal super itu tidak berhasil. Meriam yang ditembakkan dari kapal kecil Baltaoghlu mudah ditaklukan oleh orang Romawi. Kini Sultan memikirkan ide baru, ide yang belum pernah dimiliki oleh panglima sebelumnya. Kekalahan kecil di perang darat, lepasnya kapal bantuan di laut, mulai bergugurnya para prajurit dan bertambahnya syuhada’ membuat sultan semakin bersemangat menaklukkan konstatinopel. Selat yang sudah dibatasi dengan rantai baja tak mungkin bisa dilewati kapal, Kalau hanya mengandalkan mereka yang berada di depan benteng tembok akan memperlama penaklukan ini. “Kita harus melakukan serangan dari darat dan laut,” begitu kiranya jalan untuk mempercepat kemenangan ini. “Kita akan berlayar di atas bukit!”
***
“Mau kemana antum akhi?” Kiyai kami sedikit heran melihat kami kumpul di depan gerbang pondok malam hari.
“Ke kantor Ustadz Hasyim, cari wifi stad.” Jawab Fachri sambil menaikan alis mata kirinya.
Kami konvoi dari pondok dengan 4 buah sepeda motor menuju kantor Ustadz Hasyim yang buka 24 jam. Di sana kami ingin menikmati wifi gratis untuk bisa melanjutkan pendaftaran beasiswa Turki. Pekan lalu di kantor Hasan Abi tidak semua berkas berhasil diupload, karena jaringan yang kurang bagus dan jumlah kami yang lumayan banyak dengan menggunakan satu Ipad milik Hasan Abi. Hasan Abi sekarang berada di Aceh, beliau ada acara dengan teman-teman Turki yang di Indonesia lainnya. Kami harus bisa menyelesaikan pedaftaran ini dengan mandiri, tinggal beberapa berkas dan isian yang harus kami isi dan lengkapi.
3 buah notebook yang ada di satu meja ini belum memiliki koneksi dengan wifi, seorang penjaga kantor yang sedang asik dengan layar komputernya tentu tahu password wifi di sini. Mush’ab orang yang sering berkunjung kesini, Ayahnya juga kenal dekat dengan Ustadz Hasyim dan orang yang ada di kantor ini.
“Bang, password wifi disini apa?”
“ini, 24435bismillah.
Alhamdulillah, Mush’ab berhasil mendapatkan password wifi kantor ini dari penjaga kantor. Kami mulai mengecek kembali data yang sudah diisi dan melengkapi berkas yang kurang.
Bukan mudah, sampai saat ini Fachry yang dari tadi berusaha untuk mengupload berkas yang sudah discan belum juga selesai. Sudah hampir 2 jam kami nongkrong di sini, tidak ada satu pun diantara kami yang selesai seratus persen. Kini kami fokus ke notebook Acer milik Fachry, sepertinya memang harus satu-persatu pendaftaran ini diselesaikan. Halaman demi halaman kini kami lewati bersama, semua berkas sudah diupload, tinggal satu halaman terakhir.
Alhamdulillah selesai juga,” Luthfi mengucap tahmid karna sudah selesai.
“Ini satu lagi loh Pi,” Sanggah Fachri sambil menunjuk ke layar notebook.
“Yah, itu masak ngak bisa juga. Semudah ini ngak bisa juga dia wan,” Provokasi Nanda kepadaku.
“Iya ni Ri, mudah kok” Tambahku mendukung Nanda
Alhamdulillah, kali ini untuk Fachry sudah beres dan kami fokus ke notebook HP milik  Luthfi.
Ups, ada yang tinggal. Nanda dan Magiril belum menscan surat rekomendasinya. Di sini tinggal aku, Luthfi, Saiful, Fachry dan Mush’ab terus melanjutkan presos pendaftaran. Nanda dan Magiril keluar mencari tempat scan  di pinggir jalanan Panam karna di kantor ini belum ada printer yang bisa scan. Kami melanjutkan yang masih tersisa, sementara mereka harus keluar mencari tempat scan. Luthfi selesai, kini aku dan teman fokus ke pendaftranku. Tidak banyak, hanya tinggal 3 halaman lagi yang haus dilengkapi. Di akhir pengisian terakhir, smartphone Luthfi berdering.
“ Assalamualaikum. Pi, kami jatuh. Kalau bisa ada yang kesini ya, Nanda di klinik sekarang.” Melalui telepon seluler magiril memberitahu kami dengan nada tersenga-senga.
“Di mana Ril?” tanya Luthfi dengan terkejut.
“Di panam, tepatnya di depan Giant,” jawab Magiril dengan cepat dan langsung menutup percakpan.
“Ok, Kami kesana!”
Pukul 10.55, semua berkas dan isian yang ada di form sudah aku isi. Begitu juga Luthfi, tinggal Mush’ab yang sedang dalam proses. Aku dan Luthfi menyusul Nanda dan Magiril yang ada di panam, Fachry membatu Mush’ab untuk berjuang sedikit lagi. Besok tanggal 01 Mei, pendaftaran akan ditutup. Malam ini kami selesaikan semua sampai pukul 24.00, kesempatan ini sulit untuk datang dua kali. Keinginan kuat kami untuk bisa kuliah di luar negri belum padam meski hitungan menit kesempatan ini akan berulang di tahun depan.
“Kami di bujang warnet, menscan surat rekomendasi dan melanjutkan pendaftaran.”
Begitu pesan yang masuk di smartphone Luthfi yang aku baca, kubisikan ditelinganya nama warnet di mana mereka berada. Sambil mengontrol kecepatan sepeda motor, Luthfi memperhatikan ruko-ruko yang berjejer di kiri dan kanan jalan. Aku juga sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri melihat deretan ruko kota semi metropolitan. Perasaanku masih berkelabut, mendengar berita jatuhnya mereka dari sepeda motor saat mencari tempat untuk menscan berkas yang tersisa.
Malam minggu, masyarakat keluar dari rumah mencari angin malam di alun-alun kota dengan keluarga. Kadang sampai tengah malam tiba mereka masih berkeliaran menikmati indahnya warna-warni kota pekanbaru. Namun yang menyedihkan, sholat subuh mereka bolong esok paginya. Yang lebih menyedihkan diantara mereka juga ada pasangan yang belum halal hubungannya mengubar-ngubar kemesraan. Astaghfirullah,
Jalan H.R. Soebrantas, jalan yang paling padat dengan kendaran sepeda motor apalagi malam minggu. Wajar tak sedikit mereka yang menjadi korban senggol lari para pengemudi motor lainnya. Bisa jadi Nanda juga menjadi korban senggol mereka yang ugal-ugalan di jalan raya. Pedagang kaki lima yang berada di pinggir jalan sudah mulai ditertibkan oleh pemerintah setempat namun kemacetan yang ada tak berkurang kecuali hanya sedikit.
“Itu Pi! Sebelah kiri disamping KONAH,” Bisikku ke telingan Luthfi sedikit keras karna terhalangi helm.
“Oh ya, yang di depannya ada nasi unduk itu kan?” Membenarkan tempat yang aku tunjuk.
“Iya, Iya,” Kami sepakat menuju ke sana.
Luthfi mulai mengarah ke Bujang Warnet, sepeda motor dia parkirkan di samping tembok yang menjadi batas dengan Toko KONAH.
“Assalamu’alaikum, apa yang kena nan?” antusias Luthfi bertanya.
“Wa’alaikumussalam, untung aja kalian datang. Ini susah uploadnya,” Nanda menjawab menghiraukan peristiwa jatuhnya tadi.
“Lah, siku kiri ente kenapa diperban?” Tanyaku seperti tidak tahu akan peristiwa jatuh mereka.
“Itu yang jatuh tadi Wan, ane bawa nanda ke klinik tedekat untuk dapat pertolongan pertama,” Jawab Magiril.
“Cuma itu kan?” Sambung Luthfi.
“Cuma? Ini udah lumayan juga Pi, coba antum rasakan.” Bela Nanda dengan wajah masih menghadap ke komputer.
“Bantu lah ana woy, susah kali ha masukkannya. Dari tadi lagi ana coba ngak mau mau dia,” Pinta Nanda sedikit memelas.
“Bawa aja hasil scannya, kita lanjutkan di sana,” Usul Luthfi
“Iya Nan, di sini makin lama makin mahal bayarnya.” Tambahku
“Ni ha, ana bawa flashdisk,” Magiril sambil mengeluarkan dari saku celananya.
“Okeh,” Menyambut flashdisk dari tangan magiril dan memasukkannya ke lubang USB yang ada di CPU.
Pikiranku yang sedikit berkelabat mendengar Nanda dan Magiril Jatuh tenang kembali setelah melihat keadaan mereka tidak begitu parah. Magiril sempat mengambil tindakan cepat ketika sepeda motor mulai tumbang hingga tak melukai dirinya sedikit pun, hanya jari kaki kirinya yang sedikit kesleo. Kami memutar arah kembali ke kantor Ustadz Hasyim untuk melengkapi sedikit lagi dari langkah yang sudah kami tempuh ini.
Cukup setengah jam kali ini, pendaftaran Nanda dan Magiril selesai kami godok. Sambil merilekskan pikiran kami masuk ke dunia maya melihat kabar berita dan video-video bermanfaat  di youtube. Keputusan kami pulang saat jam sudah menunjukan pukul 23.25 WIB, aku sudah mengirim SMS kepada Ibu akan pulang malam sebelumnya. Aku memang tidak biasa pulang tengah malam seperti ini, Ibuku mendidik aku dan adik-adik untuk tidak berkeliaran malam-malam. Tapi ibu sudah memberi izin padaku untuk pulang malam kali ini, aku merasa lebih PW dengan izin yang diberikan Ibu dan berusaha amanah dnegan izin yang Ibu Berikan.
Nanda dan Saiful berhembus terbang dengan Vixion menuju rumah abang Nanda di belakang kampus UIR. Fachry bersama Mush’ab mengambil jalan kanan mengarah ke Bangkinang, Magiril lurus dengan kecepatan sedang menuju pondok. Sementara aku dan Luthfi, beriringan dengan Magiril sampai tikungan yang mengarah ke rumahku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WELCOME TO JORDAN (Ürdün'e Hoşgeldiniz)

Sinopsis Di Tepi Sungai Dajlah