Mesin Scan ( Kejar Beasiswa Turki ! 3 )
“Mem, hari ini kok kelihatan lebih semangat. Apalagi dengan dress ungunya,”
“Iya zah. Sibuk ngak zah hari ini?”
“Perlu kami bantu ngak mem?”
Kami berusaha membujuk Ustadzah Diah disela kesibukkannya memillih dan
memilah soal ujian semester genap adik-adik kelas. Satu persatu kumpulan
jawaban yang ada dalam amplop padi coklat itu beliau keluarkan. Mem, panggilan
akrab kami kepada beliau karena memang beliau di tempat mengajar sebelumnya dan mahasiswa memanggil dengan panggilan itu.
Selain guru di MA kami, beliau juga seorang dosen
Bahasa Indonesia di Universitas Islam Riau di Pekanbaru.
Mondar-mandir mencari mesin scaning untuk men-scan semua persyaratan yang
dibutuhkan saat pendaftran beasiswa Turki. Sudah bertanya ke
bagian Tata Usaha MA untuk menumpang scan lembaran persyaratan, sudah mengetuk
pintu bagian keuangan dan litbang di samping kantor Pimpinan Pondok,
teman-teman yang berada di rumah juga sudah ditanya, tak ada jawaban yang mengiyakan untuk bisa men-scan lembaran persyaratan itu.
“Kami boleh pakai printer yang bisa scan di rumah ustadzah?”
“untuk men-scan apa?”
“Ini zah, kami mau ikut daftar beasiswa Turki. Jadi semua persayaratan
harus dalam bentuk hasil scan, kami dah cari kemana-mana tapi ngak nemu. Bisa
kan zah?”
“Di rumah ada Wafiq, antum ketuk aja pintu. Pakai printer yang warna putih,
yang warna hitam tintanya sudah habis.”
“Syukron ya zah,”
“Mem terbaik deh,”
Alhamdulillah di rumah ustadzah ini kami bisa melanjutkan perjuangan untuk men-scan lembaran persyaratan. Tak jauh dari pondok, sekitar 15 meter dari
batas pondok bagian timur disana perumahan
Putra Kubang menanam saham diatas tanah 3 Ha.
Guru kami yang sudah berkeluarga memilih untuk menyewa perumahan yang ada di
dekat pondok ini untuk mempermudah segala kegiatan yang berkaitan dengan pondok sementara yang masih lajang biasanya tinggal
bersama santri di dalam pondok. Dari kejauhan
sebuah rumah berwarna ungu akan terlihat, warnanya yang
sedikit mencolok membuat kami mudah menandai rumah ustadzah ini. Pot-pot bunga meramaikan halaman rumah
ustadzah ini, beberapa bunga sedang bermekaran indah, sedang yang lainnya masih
menutup diri karena masih malu disentuh sepoian angin.
Sepeda motor kami parkirkan dihalaman samping, disini biasanya mobil hitam Escudo milik suami beliau mangkal. Tapi kini tak
kami lihat mobilnya, mungkin sedang dibawa kekampung Ukui, 2 jam dari sini. Kami
parkirkan sepeda motor menggantikan posisi mobil beliau biasanya, aku ketuk
pintu rumah bagian depan tiga kali.
Eh, Wafiq muncul dari pintu samping rumah
karena pintu depan dikunci dan kuncinya dibawa oleh ustadzah Diah. Kami masuk
dari pintu samping, rumah guru-guru kami cukup sederhana. Tidak terlalu megah
dengan interior dan furniture yang mewah apalagi
berasal dari luar negri. Tidak juga terlalu kecil dengan tipe RSSS (rumah
sangat sempit dan sederhana). Hehe...
semua lembaran yang ada di dalam tas
aku keluarkankan , Kami pilah lembaran mana yang dibutuhkan,. Luthfi juga menguarkan
notebook HP birunya untuk menyimpan file dari hasil scaning nanti. Lima lembar
rapor dari semester I sampai semester V sudah siap
untuk discan. Ustadzah Tuti juga sempat naik darah mendengarkan permintaan
rapor kami, setiap hari silih berganti santri yang datang
ke kantor
beliau. Kantor Tata Usaha MA yang kecil
itu acap kali kami buat sesak dan sumpek. Kesabaran kami perlu dipupuk dengan berbagia
kondisi yang ada saat ini. Maklum, angkatan pertama harus menjadi pelajaran
penting bagi Santri dan Guru kedepan untuk lebih baik.
“siit, siit...”
Satu persatu lembar persyaratan selesai discan, setelah 10 lembar rapor
yang sudah kami scan selanjutkan beberapa sertifikat prestasi yang pernah kami
dapat. Sedikit ragu, prestasi yang aku dapat hanya sebatas ruang lingkup
sekolah, selebihnya hanya tercatat sebagai peserta. Tak apa, aku akan scan
semua yang aku bawa hari ini meski nanti tak aku masukan saat mendaftar. Luthfi
juga tak kalah banyak sertifikat prestasinya dibandingkan aku. Semuanya kami scan
dengan semangat yang masih menggelegak untuk kuliah keluar negri.
“tin, tin, tiin...”
Abiyyu dan Irkhas sudah tiba di luar, mereka juga punya semangat yang lebih
menggelegak untuk dapat menelusuri luasnya bumi Allah ini. Suara sepeda motor
Vega R biru putih milik Abiyyu terdengar nyaring, seperti pembalap liar yang
ada ditengah malam saat jalanan sepi. Eh, bukan seperti, Abiyyu memang dikenal
dengan kecepatannya dalam mengendarai sepeda motor. Cepatnya Abiyyu mengendarai
sepeda motor sejalan dengan cepatnya ia memahami pelajaran di kelas amupun di
luar kelas. Melihat map hijau yang ada di tangan Irkhas penuh dangan dokumen
penting menandakan mereka juga akan menyulap lembaran itu menjadi soft file.
Karena ijazah MA belum keluar, aku hanya men-scan Ijazah saat tamat SMP
dulu. Terakhir, surat rekom dari salah seorang guru. Untuk ini aku dan
teman-teman minta kepada Ustad Husni Mubarak selaku kepala sekolah kami. Beliau
juga sangat sibuk, pulang-pergi kekantor Kemenag untuk segala urusan yang
berkaitan dengan MA kami. Disela kesibukkannya kami minta tanda tangan surat
rekomendasi ini dari beliau. Alhamdulillah beliau men-support kami untuk bisa
melanjutkan kuliah terlebih di luar negri.
“Allahu akbar, allahu akbar...”
Adzan dzuhur berkumandang, suara merdu Mas Dani terdengar dari Toa yang
terletak di ujung genteng masjid Darul Ihsan. Kami pending semua
pekerjaan kami, segera mengambil air wudhu dan menuju ke masjid terdekat yang
ada dilingkungan perumahan Putra Kubang ini. Setelah pintu rumah terkunci, kami
dan Wafiq melangkah menuju masjid. Meski sudah tidka berada didalam pondok lagi
dan menjadi santri seperti biasanya, kebiasaan baik sholat berjamaah di awal
waktu berusaha kami jaga.
Sholat dzuhur usai dan kembali ke rumah Ustadzah Diah.
“Ana sama Luthfi pergi kekantor Hasan abi duluan ya khas? Soalnya kita
sudah janji jam 02.00 siang, nanti kalau terlambat ngak enak,” Sambil
menyandang tas dan menuju pintu keluar.
“Tunggu kami disana ya!” Ceplos Irkhas.
“Sip, sip...” Tutup Luthfi sambil tersenyum melihat Abiyyu yang sibuk mengapi-apik
berkas.
Aku dan luthfi menuju kantir Hasan abi yang di jalan Paus kemaren. Belum
sempat luthfi menghidupkan sepeda motornya, Nanda, Aulia, Hakim, Anugrah, Pajri
dan Fachry datang dengan tergesa-gesa. Knalpot sepeda motor mereka saling
mendengiskan suara masing-masing. Dengan nafas yang tersenga-senga mereka
bertanya dan mencari keberadaan Abiyyu.
“Abiyyu mana?”
“didalam, masuklah.”
“Dari mana kalian Yak?” Sahut Luthfi penasaran melihat nanda yang ingin
cepat-cepat.
“Dari rumah gaek si Nanda,”
“Kami pergi duluan, nanti kalian nyusul aja Yak sama Abiyyu dan Irkhas.”
Tambahku memutuskan obrolan Aulia dan Luthfi.
Perjalanan 15 menit menuju kantor Hasan Abi tidak terasa, kami sudah sampai
di depan ruko berlantai 3 ini. Ku lihat sudah ada sebuah sepeda motor yang
akrab oleh bola mataku. Entah siapa di dalam aku kurang tahu pasti.
“Assalamu’alaikum...”
“Eleykum salam, silahkan, silahkan Luthi dan Ridwan,”
Di sana Magiril sudah duduk akrab dengan Hasan Abi, bercerita tentang seluk
beluk Negara Turki. Agama, budaya, bahasa dan geografi Turki yang unik diantara
negara lainnya. Kami sangat mudah cair dengan Hasan Abi, keramahan manusia Turk
ini terlihat alami dan natural. Berbincang lama dengannya tidak membuat kami
cepat jenuh dan bosan. Çay Turki
menjadi hal yang spesial di sela perbincangan kami.
“Mari! sekarang kita mulai pendaftarannya, semua berkas sudah siap kan? Siapa
yang mau duluan?”
“Oh ya, semuanya sudah ada email kan?”
Hasan Abi akan mulai membimbing kami mengisi data yang ada di website resmi
beasiswa Turki, memasukan berkas yang sudah kami scan, hingga selesai Abi ini
siap untuk membantu.
“Belum...” Jawab kami serempak.
“Berarti kita harus buat email dulu nanti setelah semua punya email kita
akan mulai mendaftar, Gmail lebih bagus. Yuk, siapa yang duluan?”
BalasHapusI like the story of the brother made. quite interesting and full motivasih. continue to work