Berita dari SosMed ( Kejar Beasiswa Turki ! 1 )

Siang itu kami sedang duduk melingkar diantara sebuah nampan besar dengan muatan 6-7 orang. Matahari masih menetaskan energinya ke atas loteng masjid Darul Ihsan. Jeritan akan panasnya mentari terdengar seperti sebuah mercun kecil yang meletus karna palisik.begitulah nasib baik sebuah loteng yang hanya melindungi mereka yang ada dibahwahnya tanpa pernah mengeluh akan panas teriknya matahari. Sholat dzuhur sudah kami laksanakan 15 menit yang lalu. Kini kami berada di bagian timur kanan masjid Darul Ihsan yang menghadap ke arah barat. Disini biasanya kami para santri makan siang, duduk sejajar, merapat kesebuah nampan alumanium yang sudah berisikan nasi dan lauk pauk serta sayur dengan jatah sesuai orang yang duduk diantara lingkaran nampan. Fachri teman yang paling semangat dalam urusan makan-memakan, bukan karna bodynya yang memang patut dibilang gendut terlebih dari itu rasa sensisitifnya untuk menghidangkan makan siang kepada teman-temannya. Biasanya kami bagi tugas, satu mengambil makanan, satu lagi mengambil minum, satu lagi mencuci manpan yang sudah licin dari nasi dan lauk-pauk. Sambil mencuil ikan tongkol yang digoreng kering ini, mengoleskannya sedikit ke atas tumpukan cabe merah ala buk dapur yang pedasnya ngak kalah sama tersasi yang dijual dikedai kecilku.
Duduk dibangku XII SMA ini memang masa yang memebuat kita terkadang merasa bimbang, lebih bimbang dari IX di SMP. Benar apa yang dikatakan ustad kami "Saat kalian duduk di Kelas akhir pondok, di akhir sarjana S1, di awal karir dan kerja kalain. Galau ingin melanjutkan kuliah kemana? galau untuk bekerja atau melanjutkan S2, Galau untuk bisa menyempurnakan setengah dari agama kalian, mencari pasangan hidup. Mulai sekarang buatlah live map, peta hidup kalian!"
Sejak awal masuk pondok memang kami sudah diarahkan untuk menggambar kehidupan kami, 3, 5, 10, 20 tahun kedepan. Hanya bocah-bocah ingusan itu tk terlalu peduli dengan hal yang seperti itu, mereka hanya mencari kesenangan semata yang ada dihadapan. Seiring berjalan waktu kami mulai paham satu persatu nasihat yang ustad sampaikan.
" Gimana info Madinah Mi ?" comotan ikan tongkol tadi masih berputar digigi gerahamku
" ya, itu dia. Kita harus punya rekomendasi dari alumni madinah langsung, alhamdulillahnya paman ana kenal dengan ustad Dasman Ma'ali. Beliau sampai doktor di Madinah." Sayur lobak yang tergenang diatas kuah yang sedikit itu dikaruk Romi dengan jemarinya.
" Hmm..."
" Yang ke Mesir In Syaa Allah akan ada ujiannya nanti di UIN SUSKA Riau kata ustad Dzul, yang lulus ada kabarnya bisa langsung pergi ke Mesir. Nah yang mau dapat beasiswa harus ikut ujian kedua di UIN SYAHID Jakarta" jelas Luthfi yang semangatnya untuk keMesir sudah meledak-ledak.
" Ya, apa yang ada kita masuk. Seperti kata ustad Yan, kalau ada pilihan kita bisa pilih nah yang payahnya kalau tidak ada yang bisa dipilih."
Ikan tongkol tadi hanya tinggal tulang, kepalanya juga kami embat, karna tulang sedikit berbahaya bagi tenggorokan kami berbagi kekucing-kucing yang berkeliaran disekitar halaman masjid. Tak sehelai daun dari sayur pun tersisa, bukan kami kaum kelaparan yang sudah berhari-hari tidak makan. Ini adalah sebuah nikmat, kalau mubazir ntar Allah marah nasihat ayah saat aku masih kecil. Kami belum beranjak dari duduk kami, sambil meneguk air putih yang gelasnya juga dipergilirkan sebagai tanda ukhuwah kami yang erat.
" Oh ya, Kemaren abang ana datang. Dia dapat kiriman dari WA temannya, ada beasiswa pemerintah Turki yang akan sedang dibuka. Beasiswanya lumayan, dikasih tiket pergi dan pulang kalau sudah selesai, uang jajan perbulan 550 TL, kuliah gratis, ada asrama juga. ya, kita tinggal belajar yang rajin," jelas Fachri
" Oh ya, disana juga dikasih contact personnya. nanti kita hubungi, kita pergi sama-sama kesana!"
" Boleh tu, siapa tahu rezeki kan ?" sahut Pajri yang sibuk mengumpulkan butiran nasi yang ada diluar nampan.
" Iya tu ri," sambungku dan Aldi bersamaan
Pikiranku kembali ke kisah Muhammad Al-Fatih sang penakluk konstatinopel kala itu. Sang pembuat meriam super itu sudah mati karna ledakan sebuah meriam yang sudah tak tahan akan panasnya peluru dan durasi waktu yang sebentar antara setiap lemparan ke tembok raksasa konstatinopel. Penembakan dengan meriam super itu mulai diberi jarak waktu agar proses pendingingan meriam dapat stabil. Suasana semakin berkelabut, ditambah seorang pendampingnya mengusulkan untuk menghentikan peneyerangan ini. Selain meriam kita yang sudah mulai rusak, sang pembuat meriam juga telah ke rahmatullah, prajurit kita juga akan menipis hari ke hari namun tembok berlapis itu masih berdiri kokoh didepan mata kita. Sultan masih berpikir positif dan kreatif, ia tak mudah luluh dengan bujukan untuk mundur. Ia tetap ingin membuktikan janji Nabi Muhammad menjadi Panglima dengan Prajurit terbaik pula.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

WELCOME TO JORDAN (Ürdün'e Hoşgeldiniz)

Sinopsis Di Tepi Sungai Dajlah